Penistaan agama menjadi perbuatan yang paling dibenci di Indonesia,
mungkin lebih dibenci ketimbang kejahatan yang lain. Sepanjang sejarah
Indonesia, delik penistaan agama sudah sangat sering dipakai untuk
memenjarakan orang. Ini kenyataan sejarah yang sudah terjadi jauh
sebelum Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dituduh melecehkan Islam
karena pernyataannya di Kepulauan Seribu (30/09/2016).
Pada Agustus 1968, majalah Sastra memuat sebuah cerpen
berjudul “Langit Makin Mendung”. Ceritanya bukan tentang turunnya hujan,
tapi tentang turunnya Nabi Muhammad ke bumi, persisnya turun di
Jakarta. Nabi turun ditemani malaikat Jibril. Mereka hendak menyelidiki,
kenapa jumlah orang Islam yang masuk surga begitu sedikit.
Di bumi, mereka menemukan perzinahan, budaya minum alkohol, saling
bertikai dengan sesama Islam sendiri. Banyak orang Islam yang bertindak
tidak sesuai dengan ajaran Islam. Mereka teracuni oleh ideologi sekuler.
Muhammad dan Jibril tak bisa berbuat apa-apa atas apa yang terjadi.
Mereka hanya bisa melihat kelaparan, kejahatan dan permainan-permainan
politik Jakarta dengan menyaru sebagai burung elang.
Cerita yang ditulis Ki Pandji Kusmin (nama pena dari penulis yang di
kemudian hari diketahui bernama Sudihartono) itu memicu amarah besar
umat Islam Indonesia. Majalah Sastra, tempat HB Jassin menjadi
penyunting, menjadi sasaran amuk massa. Kemarahan sama sekali tidak
mereda walau pun majalah Sastra sudah melayangkan permintaan maaf.
Dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid I, Denys Lombard
menulis: “jika dilihat dari tahun terbitnya, sebenarnya kritik itu tidak
istimewa dan tidak provokatif. Namun cara yang dipilihnya menimbulkan
kemarahan kalangan (Islam) ortodoks, karena sejak baris pertama muncul
Nabi Muhammad, yang karena bosan dengan surga meminta kepada Allah agar
diizinkan untuk turun ke dunia mengemban misi.”
HB Jassin menjadi orang yang bertanggung jawab atas cerpen tersebut.
Pasalnya, Ki Pandji Kusmin tidak diketahui orangnya. Itu hanyalah nama
pena. Apalagi Jassin juga menolak membeberkan identitas Ki Pandji Kusmin
yang sebenarnya. Permintaan maaf Jassin tak cukup. Dia diajukan ke
pengadilan. Jassin diberi hukuman satu tahun penjara dan dua tahun
percobaan.
HB Jassin bukan satu-satunya penulis yang dituduh menistakan agama. Pimpinan Redaksi tabloid hiburan Monitor, Arswendo Atmowiloto, juga pernah kena masalah hukum sebagai penista agama (Islam).
Tabloid yang sebagian besar sahamnya dimiliki Kompas-Gramedia ini oplahnya pernah mencapai 500 ribu eksemplar. Monitor
membuat heboh pada edisi 15 Oktober 1990. Monitor menyiarkan hasil
angket pembaca yang memilih tokoh yang mereka kagumi melalui kartu pos.
Dalam edisi itu, Monitor mengumumkan angket pembaca di
rubrik Kagum. Dalam angket itu, Presiden Soeharto berada di urutan
teratas dengan 5.003 pengagum yang mengirim kartu pos. Lalu
berturut-turut: Menristek BJ Habibie dengan 2.975 pengagum, Mantan
Presiden Sukarno dengan 2.662 pengagum, Iwan Fals dengan 2.431 pengagum.
Dari peringkat 5 sampai 10 diisi oleh: Zainudin MZ, Try Sutrisno,
Saddam Husein, Siti hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutur dan Arswendo
selaku pemimpin redaksi menempati posisi 10 dengan 797 pengagum.
Angket ini menjadi kecaman karena Nabi Muhammad SAW hanya menempati
posisi ke-11 dengan 616 kartu pos pengagum saja. Nabi Muhammad kalah
populer dibandingkan Zainuddin MZ, Soeharto, Saddam Husein, Soekarno,
bahkan kalah dari Arswendo sendiri.
Kecaman dengan segera bermunculan. Surat kabar Adil nomor 11
th 59 Oktober II/1990 memampangkan wajah Arswendo di bawah judul
artikel: “Penghinaan terhadap Islam: Di balik Angket Monitor”.
Pada edisi Senin 22 Oktober 1990, di halaman delapan, Monitor memajang permintaan maaf. Bunyinya: “MOHON MAAF//Kami, seluruh karyawan Monitor,
memohon maaf yang sebesar-besarnya karena khilaf memuat ‘Ini Dia: 50
Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita’ dalam terbitan no.255/IV 15 Oktober
1990.”
Meski Ketua Umum Nahdlatul Ulama, Abdurrahman Wahid, sudah bilang
bahwa wibawa Nabi Muhammad tidak akan berkurang hanya karena kasus
Monitor, tetap saja amarah tak mereda. Seruan Gus Dur bahwa cukuplah Monitor diboikot dengan tidak membeli juga tidak cukup meredakan persoalan.
Gus Dur memang sendirian. Tokoh-tokoh yang pada masa itu dianggap moderat pun cenderung tidak membela Arswendo.
Tokoh Muhammadiyah, Amien Rais, menuding Monitor telah
memberi pukulan serius yang menghina umat Islam. Bahkan Nurcholis
Madjid sekali pun gusar benar. “Saya merasa disepelekan betul!” kata Cak
Nur. Arswendo kala itu dianggap menyusahkan usahanya untuk
mengembangkan toleransi. Cak Nur bukan saja menyarankan Monitor
dibredel, tapi juga meminta pemerintah untuk tidak menutup-nutupi jika
ada mekanisme di belakang kasus tersebut.
Arswendo pun harus menelan pil pahit. Ia dibawa ke pengadilan dan diputuskan bersalah. Ia dihukum bui selama lima tahun.
Tuduhan penistaan agama melalui media massa bukan hanya menimpa majalah Sastra atau tabloid Monitor. 98 tahun silam, tepatnya pada 1918, surat kabar Djawi Hiswara menerbitkan
artikel berjudul “Pertjakapan antara Marto dan Djojo” yang memuat
kalimat bahwa Nabi Muhammad minum-minuman keras dan candu. Karena
artikel ini Djawi Hiswara didatangi ribuan massa.
Delik penistaan agama tidak hanya menimpa media massa dan orang-orang
yang menjadi pemimpinnya. Selama 10 tahun terakhir, beberapa kasus
penistaan agama justru lebih sering menimpa perorangan.
Pada 2006, 41 anggota Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI)
ditendang masuk penjara 5 tahun. Mereka dituduh mengadakan konser doa di
Hotel Asida, Batu, Malang, yang menghina umat Islam.
Pada 2011, Antonius Richmond Bawengan, juga dijerat 5 tahun penjara.
Dia dituduh menyebarkan sejumlah selebaran dan buku yang dianggap
melecehkan keyakinan agama tertentu. Publikasi yang dipersoalkan
berjudul “Bencana Malapetaka Kecelakaan (Selamatkan Diri Dari Dajjal),
“Tiga Sponsor-Tiga Agenda-Tiga Hasil” dan “Putusan Hakim Bebas”.
Pada 2012, seorang ibu rumah tangga bernama Rusgiani juga harus
dihukum setahun dua bulan karena divonis bersalah telah menista agama
Hindu. Ia dianggap menghina tempat sesaji orang Hindu di Bali. Rusgiani
terbukti mengatakan: “Tuhan tidak bisa datang ke rumah ini, karena
Canang itu jijik dan kotor.”
Pada tahun ini, ada kasus Nanang Kurniawan yang juga didakwa menista
agama. Ia dihukum 18 bulan penjara karena dianggap secara sengaja
merancang alas kaki dengan gambar ornamen yang diduga merupakan materi
kaligrafi.
Nyaris tidak ada yang lolos dari jerat hukum ketika seseorang
diajukan ke pengadilan karena delik penistaan agama. Apalagi jika
kasusnya sudah menjadi perhatian yang begitu besar, seperti terjadi
dalam kasus H.B. Jassin dan Arswendo Atmowiloto. Semuanya menjadi
semakin sulit ketika kasus itu juga beririsan dengan pertarungan politik
— persis seperti yang kini sedang dialami oleh Ahok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar